Makanan dalam Konteks "Nature" dan "Culture"
Tidak
bisa dipungkiri bahwa makanan merupakan komponen budaya. Merupakan hasil
adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Adaptasi terhadap apa-apa yang
bisa dimakan dan apa-apa yang tabu untuk dimakan. Ini tentunya akan
menjadi menarik karena makan bukan hanya tentang apa yang kita sukai
untuk dimakan, tetapi juga nutrisi (faedah) apa yang kita dapat dari
makanan. Beberapa makanan justru baik untuk tubuh namun tidak lazim
dimakan dalam budaya tertentu, atau justru sebaliknya. Kajian mengenai
ketahanan pangan tentunya harus tidak luput dari kompenen ini.
Dalam
artian luas, makanan dapat diartikan sebagai senyawa yang dapat
memberikan nilai gizi pada tubuh, memberikan energi, mendorong
pertumbuhan dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa makanan itu
adalah objek nyata yang dapat dideskripsikan dalam karegori fisik,
kimia, biokimia dan lainnya. Oleh karena itu makanan dapat dihitung
kuantitasnya dalam bentuk berat, kandungan senyawa kimia, sampai jumlah
mikroba yang tumbuh didalamnya. Sebagai objek nyata makanan juga bisa
dinilai secara subjektif oleh panca indera manusia. Melalui kemampuan
manusia ini, makanan terkelompokkan menjadi banyak kategori berdasarkan
tingkat kesukaannya.
Menurut
Kolb & Wirsaw (2009), panca indera manusia juga punya "receptive
field" maksudnya adalah manusia akan terbatas kemampuan inderanya dalam
lingkungan receptive field ini. Untuk sementara ini, manusia hanya bisa
merasakan 5 rasa yang berbeda di lidahnya. Oleh sebab itu masih banyak
penelitian tentang "experience of taste" untuk mengetahui tingkat dan
rasa suka itu sendiri.
Makan
adalah proses mencerna makanan untuk mendapatkan gizi dari zat yang
dimakan. Ada dua alasan utama terciptanya pola makan secara alamiah.
Pertama, alasan kesehatan, manusia akan otomatis memilih makanan yang
sehat dan menghindari makanan yang meracuni tubuhnya. Dengan porsi yang
tepat dapat memenuhi asupan gizi mereka. Itu makanya, sangat mudah
menentukan jumlah makanan yang ideal (sehat) untuk dikonsumsi dalam satu
hari. Terciptanya pola makan secara alamiah kedua adalah karena
"pengalaman menikmati makanan", sensasi yang ditimbulkan saat makan
memberikan kepusan tersendiri terhadap pelakunya. Alasan inilah membuat
seseorang untuk makan melebihi porsinya (subjektif). Bukan sekedar
pemenuhan kebutuhan gizi namun lebih kepada pemenuhan kepuasan
"psikologis". Salah satu studi yang dilakukan oleh Eldredge dan Agrs
(1996) menunjukkan bahwa, orang gemuk cenderung akan makan lebih banyak
apabila mereka dalam keadaan stress. Disini terlihat bahwa faktor
subjetif muncul sebagi pembentuk pola makan mereka.
Perilaku
yang berulang ulang seperti ini, membuat membiasaan dalam pola makan,
yang lama-kelamaan menjadi suatu budaya makan. Kebisaaan ini secara
tidak langsung merupakan bagian dari Pembudayaan pola diet tersebut.
Pertanyan
lain yang muncul adalah kenapa komoditi yang sama disiapkan/dimasak
menjadi makanan yang berbeda di setiap daerah di seluruh penjuru bumi
ini? Menurut Lois Flandrin dan Massimo Montanari (1999), adalah karena
teknologi, ekonomi, dan kondisi sosial yang berbeda. Sama sama diketahui
bahwa proses pemasakan makanan akan merubah komponen gizi, begitu juga
dengan pemilihan bahan mentahnya. Makanan sebagai bagian dari budaya,
sangat erat kaitannya dengan bagaimana makanan itu disiapkan untuk lebih
"baik" dengan keterbatasan sumber daya alam sekitar. Artian baik disini
adalah yang sesuai dengan nilai-nilai agama (kepercayaan), adat,
sejarah, dan lingkungan.
"Healthy
eating and ejoying eating" menjadi konteks baru, konteks dimana antara
"nature" dan "culture". Menjadikan "What is good for your body also good
for your soul".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar